Assalamualaikum Wr. Wb.
- Sekarang hutang tersebut menjadi tanggung jawab siapa?
- Apabila pihak keluarga Fulan tidak mau membayar hutang tersebut bagaimana?
- Bagaimanakah nasib si Fulan di alam Barzah sana?
I -….
Jawaban:
Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Saudariku yang terhormat, untuk menjawab ketiga pertanyaan Anda, saya akan menyampaikan dua prinsip Islam yang berkaitan dengan hutang piutang:
Pertama: Prinsip pemeliharaan hak; Islam telah menetapkan sejumlah aturan yang berkaitan dengan hutang piutang dengan tujuan untuk memelihara hak masing-masing pihak, terutama hak orang yang memberikan pinjaman/hutang. Di antara aturan yang dimaksud adalah aturan bahwa orang yang berhutang harus mengembalikan harta yang dipinjamnya tepat waktu, syukur-syukur sebelum waktu yang dijanjikan. Sebab, Rasulullah saw. menganggap perbuatan menunda-nunda hutang bagi orang yang sudah mampu membayarnya sebagai sebuah kezhaliman. Beliau bersabda: “Menunda-nunda pembayaran hutang bagi orang yang sudah mampu (membayarnya) adalah sebuah kezhaliman.”
Dalam sejumlah hadits, Rasulullah saw. sangat mewanti-wanti agar jangan sampai seorang Muslim meninggal dunia dalam keadaan masih meninggalkan hutang. Dalam sebuah riwayat dari Abu Qatadah disebutkan bahwa suatu ketika, ada jenazah seorang laki-laki yang dibawa ke hadapan Rasulullah saw. untuk dishalatkan. Rasulullah saw. bersabda: “Kalian saja yang menyalatkan sahabat kalian itu, sebab dia masih memiliki hutang.” Mendengar itu, Abu Qatadah berkata: “Hutang itu aku yang menanggungnya, wahai Rasulullah.” Rasulullah bertanya: “Apakah sampai lunas?” Abu Qatadah menjawab: “Ya, sampai lunas.” Rasulullah saw. pun menyalatkan jenazah tersebut.
Bahkan pada riwayat yang lain, Rasulullah saw. bersabda: “Jiwa (ruh) seorang Mukmin akan tergantung (terkatung-katung) selama dia masih memiliki hutang.” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad)
Mungkin hadits terakhir inilah yang melatarbelakangi pertanyaan ketiga Anda, yaitu mengenai nasib si Fulan di alam Barzakh. Hadits tersebut mengisyaratkan bahwa seorang yang meninggal dunia dalam keadaan masih memiliki tanggungan hutang akan mengalami suatu ganjalan (ketidaknyamanan) di alam Barzakh nanti, sebelum hutang itu dilunasi oleh keluarganya ataupun diikhlaskan oleh orang yang menghutanginya. Tetapi bagaimana bentuk ganjalan dan seberapa besar ganjalan itu, hanya Allah yang mengetahuinya.
Oleh karena itu, Rasulullah saw. memerintahkan agar ketika ada seorang Mukmin yang meninggal dunia dalam keadaan masih memiliki hutang, hendaknya ada orang yang mau melunasi hutang tersebut, baik dari pihak keluarga ataupun pihak lain, seperti yang diisyaratkan dalam hadits kedua yang diriwayatkan dari Abu Qatadah tersebut.
Berdasarkan hal itu, maka dalam kasus yang Anda hadapi, sudah semestinya pihak keluarga Fulan (kakak dan orangtua Fulan) bersedia untuk melunasi hutang si Fulan bila mereka menginginkan agar Fulan tidak mengalami suatu ganjalan (ketidaknyamanan) akibat tanggungan hutangnya yang belum dilunasi itu.
Kedua: Prinsip pelaksanaan dan penuntutan hak; Dalam Islam, hak seseorang harus dilaksanakan dan ditunaikan. Hak Anda untuk mendapatkan kembali uang yang dipinjam si Fulan pun harus ditunaikan oleh si Fulan. Bahkan, seandainya Fulan masih hidup, Anda berhak menggugatnya ke pengadilan, karena transaksi hutang piutang Anda memiliki bukti tertulis. Tetapi karena si Fulan telah meninggal dunia, maka berdasarkan poin pertama di atas, pihak keluarganya-lah yang semestinya melunasinya. Karena itu, Anda berhak meminta keluarga Fulan untuk melunasi hutang tersebut. Tetapi perlu diingat, Islam juga memerintahkan kepada kita untuk tetap memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan ketika kita melakukan penuntutan hak, termasuk dalam masalah hutang piutang. Allah swt. berfirman: “dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua hutang itu) lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2]: 280)
Perhatikan, bagaimana Al-Qur`an memerintahkan kita untuk memberikan kelapangan bila orang yang berhutang memang benar-benar tidak mampu untuk mengembalikan hutangnya, yaitu dengan cara memberi tangguh waktu pembayaran atau bahkan dengan cara mengikhlaskannya bila kita mengharapkan balasan yang lebih baik dari Allah swt..
Hal senada juga pernah disampaikan oleh Baginda Rasulullah saw. dalam sabdanya: “Barangsiapa yang memberi keringanan kepada orang yang berhutang atau menghapus hutangnya, maka dia akan berada di bawah naungan Arsy pada hari kiamat.”
Berdasarkan prinsip penuntutan hak tersebut, maka bila ternyata keluarga Fulan tidak mau melunasi hutang-hutang Fulan, maka Anda berhak menuntut ke pengadilan. Tetapi dalam pengadilan Islam, hakim hanya bisa memaksa keluarga Fulan untuk melunasi hutang si Fulan dengan menggunakan aset-aset yang dimiliki Fulan atau dengan harta yang benar-benar menjadi hak Fulan. Hakim tidak bisa memaksa mereka untuk melunasinya dengan harta mereka, kecuali bila dalam harta mereka itu juga ada hak si Fulan. Inilah yang pernah dilakukan oleh Rasulullah saw. saat sejumlah orang menuntut agar harta mereka yang dipinjamkan kepada Muadz bin Jabal dikembalikan, dimana pada saat itu Muadz baru saja mengalami pailit. Setelah membayar hutang Mu’adz dengan sisa harta yang dimilikinya, dimana sisa harta tersebut belum cukup untuk melunasi semua hutang yang ada, Rasulullah saw. bersabda kepada mereka: “Tidak ada yang bisa diberikan kepada kalian selain itu.” (HR. Daruquthni dan Hakim)
Meskipun demikian, hakim akan menyarankan keluarga Fulan untuk melunasi sisa hutang Fulan dari harta mereka dengan menjelaskan kondisi si Fulan di alam Barzakh bila hutang-hutangnya belum dilunasi, seperti yang telah dijelaskan pada poin pertama. Tetapi bila keluarga Fulan bersedia melunasinya, maka pelunasan itu dilakukan dengan tetap mempertimbangkan nilai-nilai kemanusiaan seperti yang disebutkan di atas. Karena itu, saya sarankan kepada Anda, sebaiknya Anda menyelesaikan masalah ini secara kekeluargaan terlebih dahulu dengan mengadakan ash-shulh (kesepakatan) dengan pihak keluarga Fulan. Wallaahu A’lam….Fatkhurozi